BAB I
PENDAHULUAN
Bangkitan demam kejang merupakan satu manifestasi dari pada
lepasnya muatan listrik yang berlebihan disel neuron saraf pusat. Keadaan ini
merupakan gejala terganggunya fungsi otak dan keadaan ini harus segera
mendapatkan penanganan medis secara tepat dan adekuat untuk
mencegah terjadinya komplikasi antara lain : Depresi pusat pernafasan,
Pneumonia aspirasi, cedera fisik dan retardasi mental.
Selain dampak biologis, klien juga mengalami pengaruh
psikososial. Dalam keadaan ini klien akan merasa rendah tinggi karena perubahan
pada tubuhnya. Klien juga aktivitasnya yang dapat menimbulkan bahaya bagi anak.
.(hendarson 1997:268)
Adapun penyakit meningitis, Bakteri
penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit
yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B
ditemukan pada 33% diantara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan,
didapatkan 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5 tahun. Di Australia
pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per
100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 – 4 tahun dan 15 – 19 tahun .
Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka
kejadian pertahun 10 – 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun
dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan
angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14% dan
gangguan pendengaran 28%. (http://theacademyofnursing2008.blogspot.com).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan kejang demam?
2.
Apa yang
dimaksud dengan meningitis?
3.
Bagaimana
asuhan keperawatan kejang demam dan meningitis?
C.
Tujuan
1.
Tujuan Umum : Agar mahasiswa dapat mengetahui
tentang asuhan
keperawatan kejang demam dan meningitis pada
anak.
2.
Tujuan Khusus : Agar mahasiswa dapat mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi,
manifestasi, dan mengaplikasikan asuhan
keperawatan
kejang demam dan meningitis pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kejang
Demam
1.
Definisi
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat kenaikan
suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan
mengenai kejang demam, salah satu diantaranya adalah : “Kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang
dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan
epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
Demam Kejang atau febril convulsion adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38 o
C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. (Ngatsiyah : 1997 )
Demam Kejang merupakan kelainan neurologis yang paling
sering dijumpai pada anak terutama pada golongan anak yang berumur 6 bulan
sampai 4 tahun. Pada demam kejang terjadi pembahasan sekelompok neuron secara
tiba-tiba yang menyebabkan suatu gangguan kesadaran, gerak, sensori atau memori
yang bersifat sementara. ( Aesceulaplus : 2000 )
2.
Jenis-jenis demam Kejang ( Ngatsiyah,
2004 )
a. Kejang Parsial
1) Kejang Persial Sederhana
Kesadaran
tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
·
Tanda atau gejala otomik ; muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
·
Somoto sensoris atau sensori khusus ; mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara
·
Gejala psikis, rasa takut
2) Kejang Parsial Kompleks
·
Terdapat
gangguan kesadaran
·
Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik,
mengecap-ngecap bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada
tangan dan gerakan tangan lainnya
·
Tatapan terpakau
b. Kejang Umum
1) Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus
2) Kejang Klonik
Bentuk klinis kejang klonik berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
Bentuk klinis kejang klonik berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3) Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat.
3. Manifestasi
klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang atau gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, dimanifestasikan diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
Terjadinya bangkitan kejang pada anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat : misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkhitis, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik.
Kejang berhenti sendiri, menghadapi pasien dengan kejang demam, mungkin timbul pertanyaan sifat kejang atau gejala yang manakah yang mengakibatkan anak menderita epilepsy.
Disub bagian anak FKUI, RSCM Jakarta, dimanifestasikan diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
Ø Umur anak ketika kejang antara 6
bulan dan 4 tahun
Ø Kejang berlangsung hanya sebentar
saja, tak lebih dari 15 menit
Ø Kejang bersifat umum,Frekuensi kejang
bangkitan pada usia 1 tahun tidak > 4 kali
Ø Kejang timbul dalam 16 jam pertama
setelah timbulnya demam
Ø Pemeriksaan EEG yang dibuat
sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
4.
Etiologi
Kejang dapat terjadi pada setiap
orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) berat,
dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat
reversibel apabila stimulus pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
5. Tanda dan
Gejala (Mary E Muscari,2001)
Umumnya demam kejang berlangsung singkat, berupa serangan
kejang klonik atau tonik bilateral.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan
disertai kelaukan atau hanya sentakan.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan
kurang 80 % berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti
sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar
kembali tanpa deficit neurology.
6. Patosiologi
(Brunner dan Suddart, 2000)
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ
otak diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa, sifat proses itu adalah
oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan keotak melalui system
kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel yang terdiri dari permukaan dalam yaitu limford dan permukaan luar yaitu tonik.
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan didalam sel neuron terdapat keadaan sebaliknya,karena itu perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan
perubahan konsentrasi ion diruang extra selular, rangsangan yang datangnya
mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahan dari patofisiologisnya
membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada seorang anak sirkulasi
otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan orang dewasa 15 %. Dan
karena itu pada anak, tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dalam waktu singkat terjadi difusi di ion K+ maupun ion NA+ melalui membran
tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoksia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15 menit biasanya disertai apnea, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoksia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
7.
Komplikasi
a. Aspirasi
b. Asfiksi
c. Retardasi mental
Komplikasi tergantung pada :
a.
Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b.
Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita
demam kejang
c.
Kejang berlangsung lama
8.
Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian cairan IV dengan cairan
yang mengandung glukosa
b. Bila kejang sangat lama, sehingga
terdapat kemungkinan terjadinya edema otak. Diberikan kortikosteroid sepeti
kortison 20-30 mg/Kg BB atau glukokortikoid seperti deksametason ½ – ampul
setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
c. Berikan diazepam secara IV atau
Rectal untuk menghentikan kejang
d. Pemberian Fenobarbital secara IV (Ngastiyah,
1997).
a. MRI (Magnetic Resenance Imaging )
Menentukan adanya perubahan atau
patologis saraf
b. Rontgen Tengkorak, Tidak banyak mebantu untuk mendiagnosa
aktivitas kejang kecuali untuk mengetahui adanya fraktur
c. Pemeriksaan Metabolik (Pemeriksaan
Laboratorium ) Meliputi :
·
Glukosa darah
·
Kalsium fungsi ginjal dan hepar
·
Pemeriksaan adanya infeksi : test widal, lumbal fungsi
·
Pemeriksaan serologi imunologi
d. EEG Sangat bermanfaat untuk
menentukan diagnosa kejang dan menentukan lesi serta fungsi neurology
(Ngastiyah, 1997).
B. Meningitis
1.
Definisi
Meningitis merupakan peradangan pada
selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan
proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita,
2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya
ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, meningokok,
stafilokok, streptokok, hemophilus influenza dan virus (Long, 1996).
Meningitis adalah infeksi cairan otak
disertai radang yang mengenai piameter, araknoid dan dalam derajat yang lebih
ringan mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superfisial (neorologi
kapita selekta, 1996).
2.
Etiologi
Bakteri merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :
Bakteri merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang secara umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :
·
Haemophillus influenza
·
Nesseria meningitides (meningococcal)
·
Diplococcus pneumoniae (pneumococca)
·
Streptococcus, grup A
·
Staphylococcus aureus
·
Proteus
·
Virus Toxoplasma Gondhi, Ricketsia
Meningitis virus adalah infeksi pada
meningen; cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Virus biasanya bereplikasi
sendiri ditempat terjadinya infeksi awal (misalnya sistem nasofaring dan
saluran cerna) dan kemudian menyebar ke sistem saraf pusat melalui sistem
vaskuler. Defesiensi Imunologi yang paling berpangaruh pada terjadinya infeksi.
3. Manifestasi
Klinis
a. Aktivitas dan Istirahat ; Malaise,
aktivitas terbatas, ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter, kelemahan,
hipotonia.
b. Sirkulasi ; Riwayat endokarditis, abses otak,
tekanan darah meningkat, nadi menurun, tekanan nadi berat, takikardi, dan
disritmia pada fase akut.
c. Eliminasi ; Adanya inkontinensia
atau retensi urin.
d. Makanan dan cairan; Anorexia,
kesulitan menelan, muntah, turgor kulit jelek, mukosa kering.
e. Higiene ; Tidak mampu merawat diri
f. Neurosensori ; Sakit kepala,
parsetesia, kehilangan sensasi, Hiperalgesia meningkatnay rasa nyeri,
kejang, gangguan penglihatan, diplopia, fotofobia, ketulian, halusianasi
penciuman, kehilangan, memori.
g. Nyeri/ketidaknyamanan; Sakit kepala
hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler.
h. Pernafasan ; Riwayat infeksi sinus
atau paru, nafas meningkat, letargi dan gelisah.
i.
Neonatus : Menolak untuk makan, refleks mengisap kurang,
muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak, dan menangis lemah.
j.
Anak-anak dan remaja :Demam tinggi, sakit kepala, muntah
yang diikuti dengan perubahan sensori, kejang, mudah terstimulasi dan
teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, stupor, koma, kaku kuduk,
opistotonus.
4. Klasifikasi
Meningitis
dibagi menjadi 2 :
a. Meningitis purulen ( pus )
Radang bernanah arakhnoid dan piameter
yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain :
Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok),
Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
b.
Meningitis
serosa (infeksi mikroorganisme)
Peradangan yang disebabkan oleh
organisme pada bakteri seperti meningococcus, staphylococcus, Baccilus
influenza, Baccilus tubercula, Neiserria meningitides, sreptococus pnemoniae,
haimopilus influenza.
5.
Patofisiologi
(Brunner and Suddart,2000)
Efek peradangan
akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinal yang dapat menyebabkan
obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan
intra kranial. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada
meningen. Edema dan esudasi yang kesemuanya menyebabkan peningkatan intra
kranial.Organisasi masuk melalui sel darah merah blood brain barrier.
Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau
pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat.
Masuknya
mikroorganisme ke susunan saraf pusat melalui ruang sub-arachnoid dan menimbulkan
respon peradangan pada via, arachnoid, CFS dan ventrikel. Dari reaksi radang
muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar
jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan
menimbulkan hidrosefalus. Meningitis bakteri: netrofil, monosit, limfosit,
dan yang lainnya merupakan sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri
fibrin dan lekosit yang dibentuk di ruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF
akan bertambah dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medulla
spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur atau
trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi infark.
Meningitis
virus sebagai akibat dari penyakit virus seperti meales, mump, herpes
simplek dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya tidak terjadi
dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.
6.
Pemeriksaan
Penunjang
a. Lumbal fungsi: Lumbal fungsi
biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein, cairan
serebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
b. Meningitis bacterial : tekanan meningkat, cairan
keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur positif
terhadap beberapa jenis bakteri.
c. Glukosa dan LDH : meningkat.
d. MRI: melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom,
hemoragik.
e. Rontgent kepala: mengindikasikan infeksi intrakranial.
7.
Penatalaksanaan Medis
a. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
b. Steroid untuk mengatasi inflamasi
c. Antipiretik untuk mengatasi demam
d. Anti konvulsan untuk mencegah kejang
e. Neuroprotector untuk menyelamatkan
sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan
f. Pemberian cairan intravena. Pilihan
awal yang bersifat isotonik seperti asering atau ringer laktat dengan
dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat badan anak atau tingkat
dehidrasi. Ini diberikan karena anak yang menderita meningitis sering datang dengan
penurunan kesadaran karena kekurangan cairan akibat muntah,
pengeluaran cairan melalui proses evaporasi akibat hipertermia dan intake
cairan yang kurang akibat kesadaran yang menurun.
g. Pemberian diazepam apabila anak
mengalami kejang. Pada dosis awal diberikan diazepam 0,5 mg/Kg BB/kali
pemberian secara intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka diberikan
fenobarbital dengan dosis awal pada neonatus 30 mg, anak kurang dari 1
tahun 50 mg sedangkan yang lebih 1 tahun 75 mg. Untuk rumatannya diberikan
fenobarbital 8-10 mg/Kg BB/ dibagi dalam 2 kali pemberian diberikan selama 2
hari. Sedangkan pemberian fenobarbital 2 hari berikutnya dosis diturunkan
menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi dalam 2 kali pemberian. Pemberian diazepam selain
untuk menurunkan kejang juga diharapkan dapat menurunkan suhu tubuh karena
selain hasil toksik kuman peningkatan suhu tubuh juga berasal dari
kontraksi otot akibat kejang.
h. Penempatan pada ruangan yang minimal
rangsangan seperti rangsangan suara, cahaya dan rangsangan polusi. Rangsangan
yang berlebihan dapat membangkitkan kejang pada anak karena peningkatan
rangsangan depolarisasi neuron yang dapat berlangsung cepat.
i. Pembebasan jalan nafas denga
menghisap lendir melalui section dan memposisikan anak pada posisi
kepala miring hiperekstensi. Tindakan pembebasan jalan nafas dipadu dengan
pemberian oksigen untuk mensupport kebutuhan metabolisme yang meningkat selain
itu mungkin juga terjadi depresi pusat pernafasan karena peningkatan tekanan
intrakranial sehingga perlu diberikan oksigen bertekanan lebih tinggi yang
lebih mudah masuk ke saluran pernafasan. Pemberian oksigen pada anak dengan
meningitis dianjurkan konsentrasi yang masuk bisa tinggi melalui masker
oksigen.
j. Pemberian antibiotik yang sesuai
dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik yang sering dipakai adalah
ampisillin dengan dosis 300-400mg/KgBB dibagi dalam 6 dosis pemberian secara
intrevena dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/KgBB dibagi dalam 4 dosis
pemberian. Pemberian antibiotik ini yang paling rasional melalui kultur dari
pembelian cairan serebrospinal melalui lumbal fungtio.
8.
Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada anak dengan meningitis, antara
lain:
a. Munculnya cairan pada lapisan
subdural (efusi subdural). Cairan ini muncul karena adanya desakan pada
intrakranial yang meningkat sehingga memungkinkan lolosnya cairan dari lapisan
otak ke daerah subdural.
b. Peradangan pada daerah ventrikuler
ke otak (ventrikulitis). Abses pada meningen dapat sampai ke jaringan
kranial lain baik melalui perembetan langsung maupun hematogen termasuk ke
ventrikuler.
c. Hidrosepalus. Peradangan pada
meningen dapat merangsang kenaikan produksi Liquor Cerebro Spinal (LCS).
Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga memungkinkan
terjadinya sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla spinalis. Cairan
tersebut akhirnya banyak tertahan di intrakranial.
d. Abses otak. Abses otak terjadinya
apabila infeksi sudah menyebar ke otak karena meningitis tidak mendapat
pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat.
e. Retardasi mental. Retardasi mental
kemungkinan terjadi karena meningitis yang sudah menyebar ke serebrum
sehingga mengganggu gyrus otak anak sebagai tempat menyimpan memori.
f. Serangan meningitis berulang.
Kondisi ini terjadi karena pengobatan yang tidak tuntas
atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotik yang digunakan
untuk pengobatan.
C.
Asuhan Keperawatan Kejang Demam
1.
Pengkajian
Pengumpulan
data pada kasus kejang demam ini meliputi :
a.
Data
subyektif
Ø Biodata/Identitas
Ø Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Ø Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui
status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, alamat.
Ø Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
o Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang
ditanyakan :
o Apakah betul ada kejang ?
o Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan
menirukan gerakan kejang si anak
o Apakah disertai demam ?
o Lama dan frekuensi serangan kejang
o Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap
mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik?
o Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
o Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau
rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah,
sakit kepala dan lain-lain?
Ø Riwayat penyakit sekarang
o
Apakah
muntah, diare, trauma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi).
Ø Riwayat Penyakit Dahulu
o
Sebelum
penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah
mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali
?
o
Apakah ada
riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
Ø Riwayat Imunisasi
o Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum
ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada
umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat
menimbulkan kejang.
Ø Riwayat Perkembangan
o Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
o Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) :
berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
o Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan
dan sikap tubuh.
o Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara,
mengikuti perintah dan berbicara spontan.
Ø Riwayat kesehatan keluarga.
o Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+
25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga
yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ?
Ø Pola nutrisi
o Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak.
Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh
anak ?
o Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ?
Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
o Pola Eliminasi :
§ BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya,
secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
§ BAB : ditanyakan kapan waktu BAB,
teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
Ø Pola aktivitas dan latihan
o
Apakah anak
senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ? Berkumpul dengan keluarga
sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang disukai ?
b. Data Obyektif
Ø Pertama kali perhatikan keadaan umum vital :
tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam
sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan
kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi(Corry S, 2000
hal : 36)
2. Pemeriksaan Head to Toe
a.
Kepala : Apakah tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakarnial,
yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana
keadaan
ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
b.
Rambut : Dimulai warna, kelebatan,
distribusi serta
karakteristik lain rambut. Pasien dengan
malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang
jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan
mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit.
c.
Muka : Paralisis fasialis menyebabkan
asimetri wajah; sisi
yang paresis tertinggal bila anak menangis
atau
tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi
sehat.
d.
Mata :
Bagaimana keadaan sklera, konjungtiva ?
e.
Telinga : Periksa fungsi telinga,
kebersihan telinga serta
tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan
dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar
cairan
dari telinga, berkurangnya pendengaran.
f.
Hidung : Apakah ada pernapasan
cuping hidung?
Apakah
keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya ?
g.
Mulut :
Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh?
Apakah ada caries gigi ?
h.
Tenggorokan : Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ?
Adakah tanda-tanda
infeksi, cairan eksudat ?
i.
Leher :
Adakah pembesaran kelenjar tiroid dan vena
jugulans ?
j.
Thorax : Bagaimana gerak pernapasan,
frekuensinya, irama,
kedalaman? Pada auskultasi, adakah suara
napas
tambahan
?
k.
Jantung : Bagaimana keadaan dan
frekwensi jantung serta
iramanya
? Adakah bunyi tambahan ?
l.
Abdomen : Adakah distensia abdomen serta
kekakuan otot
pada abdomen ? Bagaimana peristaltik usus ?
Adakah pembesaran lien dan hepar ?
m.
Kulit :
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun
warnanya? Apakah terdapat oedema? Bagaimana
keadaan
turgor kulit ?
n.
Ekstremitas : Apakah terdapat oedema, atau paralise
terutama
setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya
pada
daerah akral ?
o.
Genetalia : Adakah sekret yang keluar dari
vagina, tanda-
tanda infeksi ?
3.
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
·
Glukosa Darah :
Hipoglikemia merupakan predisposisi
kejang (N < 200 mq/dl).
·
BUN
: Peningkatan BUN mempunyai potensi
kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
·
Elektrolit
: K, Na(Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang).
Kalium (N 3,80 – 5,00 meq/dl ),
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ).
b. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi
tekanan abnormal dari CCS
tanda infeksi, pendarahan penyebab
kejang.
c. Skull
Ray
: Untuk mengidentifikasi adanya proses
desak
ruang dan adanya lesi.
d. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik
otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.
e. CT
Scan : Untuk mengidentifikasi lesi
cerebral
2. Diagnosa
Keperawatan
a. Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan
hipertermi.
b. Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan
kurangnya koordinasi otot
c. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan
keterbatasan informasi yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang
penyakit anaknya.
3. Asuhan Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan
hipertermi
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan Klien tidak mengalami kejang selama hiperthermi.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan Klien tidak mengalami kejang selama hiperthermi.
Kriteria hasil :
1.
Tidak
terjadi serangan kejang ulang.
2.
Suhu 36,5
– 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
3.
Nadi 110 –
120 x/menit (bayi), 100-110 x/menit (anak)
4.
Respirasi
30 – 40 x/menit (bayi),
24 – 28 x/menit (anak)
5.
Kesadaran
composmentis
|
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah
menyerap keringat
2. Berikan kompres dingin
3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
5. Batasi aktivitas selama anak panas
6. Kolaborasi dengan dokter untk
pemberian antipireutik
|
1. proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang
ketat dan tidak menyerap keringat.
2. perpindahan panas secara konduksi
3. saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat
4. Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang
akan dilakukan.
5. aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan
meningkatkan panas.
6. Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai
propilaksis
|
2
|
potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan
kurangnya koordinasi otot
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan Klien tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan Klien tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas
kejang.
3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan
ketika terjadi kejang.
|
1.
Beri
pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
2.
Tinggalah
bersama klien selama fase kejang..
3.
Berikan
tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
4.
Letakkan
klien di tempat yang lembut.
5.
Catat tipe
kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
6.
Catat tanda-tanda
vital sesudah fase kejang
|
1.
meminimalkan
injuri saat kejang
2.
meningkatkan
keamanan klien.
3.
menurunkan
resiko trauma pada mulut.
4.
membantu
menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter
berkurang.
5.
membantu
menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
6.
mendeteksi
secara dini keadaan yang abnormal
|
3
|
Gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan hiperthermi
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan rasa nyaman terpenuhi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan rasa nyaman
terpenuhi.
Kriteria
hasil :
1.
Suhu tubuh
36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit,
RR
: 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
|
1.
Kaji
faktor – faktor terjadinya hiperthermi
2.
Observasi
tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
3.
Pertahankan
suhu tubuh normal
4.
Ajarkan
pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak
5.
Anjurkan
untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
6.
Atur
sirkulasi udara ruangan.
7.
menganjurkan
pasien banyak minum
|
1.
mengetahui
penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat
menghambat penurunan suhu tubuh.
2.
Pemantauan
tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang
selanjutnya.
3.
suhu tubuh
dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban
tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
4.
proses
konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara
5.
proses
hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap
keringat.
6.
Penyediaan
udara bersih.
7.
Kebutuhan
cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
|
4
|
Kurangnya pengetahuan keluarga
sehubungan keterbataaan informasi
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkanpengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkanpengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1.
Keluarga
tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
2.
Keluarga
mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3.
keluarga
mentaati setiap proses keperawatan.
|
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
2. Beri
informasi kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
3. Jelaskan setiap tindakan/prosedur tindakan perawatan
yang akan dilakukan
4. Berikan Health Education agar selalu sedia obat
penurun panas, bila anak panas
5. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan
imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
menderita kejang demam.
|
1. Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki
keluarga dan kebenaran informasi yang didapat
2. penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat
membantu menambah wawasan keluarga
3. agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan
perawatan
4. mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan
kejang ulang.
5. imunisasi pertusis memberikan reaksi panas (kejang
demam)
|
D.
Asuhan
Keperawatan Meningitis Pada Anak
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
b. Riwayat kesehatan yang lalu
· Apakah pernah menderita penyait ISPA
dan TBC ?
· Apakah pernah jatuh atau trauma
kepala ?
· Pernahkah operasi daerah kepala ?
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Tanda :
ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
e. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis.
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis.
Tanda :
tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat,
takikardi,
disritmia.
f. Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
g. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan
membran mukosa
kering.
h. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
i. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi,
hiperalgesia, kejang, diplopia,
fotofobia, ketulian dan halusinasi
penciuman.
Tanda
: letargi sampai kebingungan berat
hingga koma, delusi dan
halusinasi, kehilangan memori.
j. Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal).
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal).
Tanda
: gelisah, menangis.
k. Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.
Tanda : peningkatan kerja pernafasan.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Gangguan perfusi jaringan b.d peningkatan tekanan intracranial
b.
Resiko kejang ulang b.d hipertermi
c.
Resiko terjadinya injuri b.d adanya kejang, perubahan status
mental dan penurunan tingkat kesadaran
d.
Kurangnya pengetahuan keluarga b.d ketidaktahuan tentang
penyakit
3.
Asuhan Keperawatan
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Gangguan perfusi jaringan
sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan perfusi
jaringan kembali normal.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan perfusi
jaringan kembali normal.
Kriteria hasil :
1.
Tanda-tanda
vital dalam batas normal
2.
Kesadaran
meningkat
3.
Adanya
peningkatan kognitif
|
1.
Pasien
bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
2.
Monitor
tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
3.
Monitor
intake dan output
4.
Monitor
tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Respirasi dan hati-hati pada
hipertensi sistolik
5.
Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian cairan perinfus dan pemberian obat.
|
1.
Dapat
mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
2.
Dapat
mengetahui tingkat keparahan
3.
vaskuler
cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti
oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat
menggambarkan perjalanan infeksi.
4.
Adanya
kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat
menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
5.
Terapi
yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.
|
2
|
Resiko kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadinya kejang ulang.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan tidak
terjadinya kejang ulang.
Kriteria hasil :
1.
Tidak terjadi serangan kejang ulang.
2.
Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
3.
Nadi 100-110 x/menit (anak)
4.
Respirasi 24 – 28x/menit (anak)
5.
Kesadaran CM
|
1.
Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap
keringat
2.
Berikan kompres dingin
3.
Anjurkan kepada keluarga untuk memberikan makanan dan minuman
lebih banyak
4.
Observasi kejang dan
tanda vital tiap 4 jam
5.
Batasi aktivitas selama anak panas
6.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian anti pireutik
|
1.
proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
2.
perpindahan panas secara konduksi
3.
saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat
4.
Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan
5.
aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas
6.
Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis
|
3
|
Resiko terjadinya injuri
sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan
tingkat kesadaran
Tujuan:
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadinya injuri.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan tidak
terjadinya injuri.
Kriteria hasil :
1.
Klien bebas dari resiko injuri
|
1.
monitor
kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
2.
Persiapkan
lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat pasien
3.
Pertahankan
bedrest total selama fase akut
4.
Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian analgetik
|
1.
Gambaran
tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
2.
Melindungi
pasien bila kejang terjadi
3.
Mengurangi
resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
4.
Untuk
mencegah atau mengurangi kejang.
|
4
|
Kurangnya pengetahuan keluarga
sehubungan dengan ketidaktahuan tentang penyakit
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pengetahuan
keluarga bertambah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan pengetahuan
keluarga bertambah.
Kriteria hasil :
1. Keluarga tidak sering
bertanya tentang penyakit anaknya
2.
Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3.
keluarga mentaati setiap proses keperawatan
|
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab
dan akibat kejang
3. Jelaskan setiap tindakan perawatan
yang akan dilakukan
4. Baringkan anak ditempat rata dan
lembut, kepala dimiringkan, pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain
yang basah, lalu dimasukkan ke mulut.
5. Setelah kejang berhenti dan pasien
sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang
6. Anjurkan keluarga untuk imunisasi
|
1.
Mengetahui
sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang
didapat
2.
dapat
membantu menambah wawasan keluarga
3.
agar
keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4.
mencegah
peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang
5.
sebagai
upaya preventif serangan ulang
6.
imunisasi
pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangkitan demam kejang merupakan satu manifestasi daripada
lepasnya muatan listrik yang berlebihan disel neuron saraf pusat. Keadaan ini
merupakan gejala terganggunya fungsi otak dan keadaan ini harus segera
mendapatkan penanganan medis secara tepat dan adekuat untuk
mencegah terjadinya komplikasi antara lain : Depresi pusat pernafasan,
Pneumonia aspirasi, cedera fisik dan retardasi mental.
Selain
dampak biologis, klien juga mengalami pengaruh psikososial. Dalam keadaan ini
klien akan merasa rendah tinggi karena perubahan pada tubuhnya.
Meningitis merupakan peradangan pada selaput meningen,
cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat. Yang disebabkan oleh bakteri, virus, faktor predisposisi,
faktor maternal dan faktor imunologi. Meningitis dibagi menjadi 2 yaitu
Meningitis purulen ( pus ) adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter
yang meliputi otak dan medula spinalis dan Meningitis serosa ( bakteri )
merupakan peradangan yang disebabkan oleh organisme pada bakteri seperti
meningococcus, staphylococcus, Baccilus influenza, Baccilus tubercula,
Neiserria meningitides, sreptococus pnemoniae (pada dewasa), haimopilus
influenza (pada anak-anak dan remaja).
B. Saran
Sebagai Mahasiswa agar lebih bisa meningkatkan
pengetahuan tentang meningitis dan problem solving yang efektif dan juga
sebaiknya kita memberikan informasi atau health education mengenai meningitis
kepada para orang tua anak yang paling utama.
DAFTAR
PUSTAKA
Aesceulaplus.(2000).Fundamental
of Nursing. EGC : Jakarta
Brunner
dan Suddarth,( 2000). Buku saku keperawatan medikal bedah,EGC,
Jakarta
Doenges,
Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta
Hasan. ( 1995)
Diagnosa Keperawatan ,Edisi 6. Jakarta : EGC
Kapita
Selekta Kedokteran FKUI, (1999) Media Aesculapius, Jakarta
Mansjoer
Arif. (2000) Kapita Selekta Kedokteran,Jilid 2.Jakarta : EGC
Ngastiyah.
(1997)Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Long.(
2000 ) Buku Saku Diagnosis Keperawatan .Jakarta : EGC
Suriadi dan Rita.(2001).Cara mengatasi penyakit
meningitis.Primadani : Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar