BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya berarti
resistensi relative terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi terbentuk berdasarkan respons
imunologik. Selain membentuk resistensi
terhadap suatu infeksi, respons imun juga dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai penyakit. Oleh karena itu, pada
masa sekarang arti respons imun sudah lebih luas yang pada dasarnya mencakup
pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi suatu makhluk hidup, dengan
segala rangkaian kejadian yang melibatkan sistem retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang dimaksud mencakup
netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat asing tersebut dengan atau
tanpa akibat berupa gangguan pada makhluk hidup yang bersangkutan.
Sekarang pengertian dasar imunologik sudah berkembang
demikian rupa, sehingga telah ditemukan cara pengobatan penyakit imunologik
secara lebih terarah.
Dalam makalah ini dibicarakan obat yang menekan respons
imun. Walaupun umumnya imunosupresan
merupakan sitostatik atau turunannya, pembahasan akan dibatasi pada hal-hal
yang berhubungan dengan sifat imunosupresinya saja dengan terlebih dulu
meninjau dasar-dasar imunologi secara singkat.
B. Tujuan
Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa lebih mengetahui tentang obat
imunosupresan, obat hematologi dan obat yang mempengaruhi cairan dan
elektrolit.
2. Tujuan Khusus
Agar
mahasiswa mampu mengetahui tentang :
a.
Obat
Imunosupresan
b.
Obat
Hematologi
c.
Faktor
yang mempengaruhi kebutuhan cairan dan elektrolit
d.
Obat
yang mempengaruhi Cairan dan Elektrolit
C. Sistematika
Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Obat
Imunosupresan
B.
Obat
Hematologi
C.
Faktor
yang mempengaruhi kebutuhan cairan dan elektrolit
D.
Obat
yang mempengaruhi cairan dan elektrolit
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Imunisupresan
1. Pengertian
Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk
menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini
bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan
zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di
berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat
berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting
dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan
dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis
langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,
transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada
neonatus.
2. Mekanisme Kerja dan Pilahan Obat Imunosupresan
Kerja obat
imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi reaksi umum secara dini. Pada gambar 48-3 menunjukkan tempat kerja
obat imunosupresan dalam mengatasi
Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan
memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh.
Penggunaan imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik
(terarah), yaitu toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja. Alasan dikehendakinya suatu toleransi
spesifik, dan bukan umum, ialah karena toleransi umum dapat membahayakan
individunya; khusunya memudahkan timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya toleransi spesifik seringkali
sulit dicapai. Perlu dimengerti bahwa
bila Ag masih terdapat dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali
dengan penghentian pemberian imunosupresan.
Efek imunosupresi dapat dicapai dengan
salah satu cara berikut: (1) Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag
menjadi Ag imunogenik oleh makrofag; (2) Menghambat pengenalan Ag oleh sel
limfoid imunokompeten; (3) Merusak sel limfoid imunokompeten; (4) Menekan
diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga tidak terbentuk sel
plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk respons imun selular;
dan (5) Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T yang
tersensitisasi yang telah terbentuk.
Beberapa imunosupresan mempengaruhi berbagai reaksi respons imun,
umpamanya reaksi inflamasi.
Secara praktis, di klinik penggunaan obat
imunosupresan berdasarkan waktu pemberiannya.
Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase. Fase pertama adalah fase induksi, yang
meliputi: (1) Fase pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit
imunokompeten; (2) Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T,
masing-masing untuk respons imun humoral dan selular. Fase kedua: fase produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.
Berdasarkan fase-fase tersebut di atas,
imunosupresan dibagi dalam tiga kelas. Imunosupresan kelas I harus diberikan
sebelum fase induksi, yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi kerjanya adalah merusak limfosit
imunokompeten (limfolitik). Contohnya:
alkilator radiomimetic dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada fase
ini). Jika diberikan setelah terjadi
perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif sehingga
respons imun dapat berlanjut terus.
Imunosupresan kelas
II adalah yang harus
diberikan dalam fase induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan
oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini
bekerja menghambat proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten,
misalnya antimetabolit. Jika diberikan
sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan efek
imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat
meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum diketahui
dengan pasti.
Imunosupresan kelas
III memiliki
sifat imunosupresan kelas I maupun kelas II.
Jadi golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum
maupun sesudah adanya perangsangan oleh Ag.
Pilahan imunosupresan dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini.
Kelas
I
|
Kelas
II
|
Kelas
III
|
Busulfan
L-Melfalan
D-Melfalan
Glukokortikoid:
D. Prednison
E.
Prednisolon
F.
Glukokortikoid
lainnya
Mitomisin C
Kolkisin
Fitohemaglutinin
Sinar-X
|
Klorambusil
Metotreksat
Azatioprin
6-Merkaptopurin (6-MP)
Sitarabin (ARA-C)
5-Bromo-deoksiuridin (5-BUdR)
5-Fluoro-deoksiuridin (5-FUdR)
5-Fluorourasil (5-FU)
Vinblastin (VBL)
Vinkristin (VCR)
Siklosporin*
|
Siklofosfamid
Prokarbazin
|
*paling efektif bila diberikan
bersamaan dengan antigen
Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut
hanya beberapa saja yang telah lazim digunakan sebagai imunosupresan, yaitu:
(1) alkilator: siklofosfamid dan klorambusil; (2) antimetabolit: aztioprin dan
6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat); (3) kortikosteroid:
prednisolon, prednison; dan (4) siklosporin.
Obat yang digunakan sebagai imunosupresan
sebagian besar termasuk dalam golongan obat kelas II, contohnya azatioprin,
6-merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat.
Efek utama obat kelompok ini ialah menghancurkan sel yang sedang
berproliferasi, maka tahap proliferasi dan diferensiasi umumnya merupakan fase
yang lebih sensitif daripada tahap lainnya.
Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah
berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas maksimal.
Imunosupresan kelas III yang telah banyak
digunakan sampai kini hanyalah sikolofosfamid.
Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan sebelum maupun sesudah
berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat pada pemberian beberapa
hari setelah stimulasi Ag berlangsung.
Golongan imunosupresan kelas I yang telah
digunakan sampai kini hanyalah glukokortikoid, khususnya prednisolon dan
prednison.
3. Obat-obat Imunosupresan
AZATIOPRIN
Nama
Generik : Imustrum
Nama
Dagang : Erlimpeks
Golongan : B
Per 5 ml :
prebiotik 500 mg, colostrum bovine 250 mg, curcuminoid 2 mg, bubuk dha 32 mg,
lysine hci 100 mg, vit b1 3 mg, vit b2 phosphate 2 mg, vit b6 5 mg, vit b12 5
mcg, panthenol 3 mg, nicotinamide 5 mg, vit a 2000 iu, vit d 200 iu, zn
(sebagai zn sulfat 7h20) 5 mg.
Indikasi : Suplemen suplemen
nutrisi dan multi vitamin untuk menjaga sistem
imun dan kesehatan fungsi pencernaan pada anak.
Ds : Anak : 4-12
tahun 10 ml 1x /hari 1-4 Tahun 5
ml 1x/hari
Km : Sir 60 Ml Rp.20.000,-
KOLSISIN
ORECOLFAI Fahrenheit K
Kolsisin
0,5 mg. In: lihat dosis. Ki:
penyakit saluran kemih dan jantung parch, hipersensitif, diskrasia dash, wanita
hamil. Es: kemungkinan peningkatan
toksisitas i kolsisin pads kasus disfungsi hati hares dipertimbangkan,
kelemahan otot, meal, muntah, nyeri perut atau diare, urtikaria, anemia
aplastik, agranulositosis, dermatitis, purpura, alopesia, pada dosis toksik
menyebabkan diare bent, kerusakan umum pembuluh, dan kerusakan ginjal t
disertai hematoria dan oliguria. Ds:
artritis gout, arthritis akut: dasis awal, 4,5-1,2 mg; diikute dengan 0,5 mg i
setiap 2 jam sampai rasa sakit hilang. Serangan akut: 4 ; 8 mg. Propfilaksis
gout: pencegahan, 0,5 mg diberikan' sekali seminggu sampai sekali sehari, km: dos 3x10 tablet rp. 16.500,-
METOTREKSAT
ETHOTREXATE Kalbe
Farma K
Metotreksat. In: koriokarsinoma gestasional,
korioadenoma destruens, mola hidatiform. Profilaksis leukemia meningeal pada
leukemia limfositik akut & sebagai terapi pemeliharaan dalam kombinasi
dengan antikanker lain. Terapi leukemia meningeal. Sebagai terapi tunggal atau
kombinasi untuk kanker payudara, kanker epidermoid kepala & leher, kanker
paru stadium lanjut (terutama jenis sel kecil & sel skuamosa). Sebagai
terapi kombinasi untuk limfoma non hodgkin stadium lanjut. Terapi simtomatik
psoriasis berat. Ki: wanita hamil
dan menyusui. Alkoholisme, penyakit hati alkoholik, atau penyakit hati kronis
lainnya. Pasien dg diskrasia darah. Hipersensitivitas terhadap metotreksat. Perh: pantau toksisitas sumsum tulang,
hati, paru, ginjal. Hati-hati pd pasien dg kerusakan fungsi ginjal, ascites,
atau efusi pleura. Hati-hati penggunaan bersama ains. Io: preparat asam folat dapat menurunkan respon terapi. Pemberian
bersama trimetoprim/sulfametoksazol pernah dilaporkan terjadi peningkatan efek
samping-supresi sumsum tulang. Dosis:. Koriokarsinoma & penyakit
trofoblastik sejenis: 15-30 mg/hari i.m. Selama 5 had. Ulangi 3-5 kali dengan
periode istirahat selama e" 1 minggu. Karsinoma payudara: 40 mg/mz i.v.
Pada had ke-1 & 8. Terapi induksi leukemia: 3,3 mg/mz dalam kombinasi
dengan 60 mgjmz, diberikan tiap hari. Methotrexate diberikan'bersama
antineoplastik lain untuk terapi pemelihara6n, diberikan 2 kali/minggu setiap
14 had. Leukemia meningeal: 200-500 mcg/kgbb intratekal, interval 2-5 had.
Psoriasis: 10-25 mg/minggu i.m/i.v. Dosis tunggal. Es,.supresi sumsum tulang & toksisitas gastrointestinal. Dlare.
Umfoma malignan. Stomatitis ulseratif, leukoperiamual, ketidaknyaman abdominal.
Malaise, fatigue, ,demam & menggigil, penurunan ketahanan terhadap infeksi.
Jangka panjang: hepatotoksisitas, fibrosis, sirosis. Km: injeksi 50 mg/2 ml vial rp.55.000.
METHOTREXATE 50
MG/ 2 ML DBL Tempo SP, DBL K
Metotreksat 5 mg/2
ml; 50 mg/2 ml tiap vial. In: kemoterapi antineoplastik. Km: dos 5 vial 5 mg/2 ml rp. ', 54.250,-; 5 vial 50 mg/2 ml rp.
135.550,
METHOTREXATE Delta West Pharmacia K
Metotreksat 25
mg/ml injeksi dalam 20 ml/2 ml landan steril, isotonik, bebas zat pengawet; 100
mg/ml dalam larutan steril, isotonik, bebas zat pengawet. In: terapi kanker payudara, koriokarsinoma, korioademona destruen,
dan hidatidiform mole. Ki. Gangguan
fungsi ginjal, gizi buruk, gangguan hati atau paru. Perh: harus diberikan oleh
dokter pengalaman, pasien harus diberitahu efek toksik clan bahaya obat; jangan
diberikan pada wanita hamil clan menyusui. Es:
intoksikasi kulit, darah, sistem urogenital, saluran cerna dan fungsi syaraf. Ds: koriokarsinoma clan penyakit
tropoblastik yang sama: 15-30 mg im tiap had selama 5 had; seluruh gejala
toksikasi harus sudah hilang, sebelum dimulai paket berikut, biasanya
diperlukan 3-5 paket; kanker payudara 10-60 mg/mi, biasanya diberikan bersama
dengan obat sitosis lain; leukemia 3,3 mg/m2 secara oral bersama dengan 60
mg/mz prednison. Km: 1 vial 50 mg/2
ml rp. 68.180,-
TEXORATE Fahrenheit
K
Metotreksat 2,5
mg/tablet. In: artritis reumatoid,
molahidatidosa, psiroasis, km: dos
100 tablet
SIKLOFOSFAMID
CYCLOPHOSPHAMIDE KALBE FARMA K
Cyclophosphamide. In: Karsinoma paru, karsinoma payudara,
karsinoma ovarium. Limfogranulomatosis maligna, limfosarkoma, sarcoma sel
retikulum, leukemia serta myeloma multiple. KI: Penyakit sumsum
tulang, hipersensitivitas, sistitis hemoragik, wanita hamil & menyusui.
Perh: leukopenia, trombositopenia, infiltrasi sel tumor pada sumsum tulang,
pernah diterapi dengan agen sitotoksik lainnya atau radioterapi, kerusakan
fungsi hati/ginjal. Dapat memicu
sterilitas permanen pada anak-anak.
Hitung sel darah harus dipantau selama terapi. ES: Mual, muntah. Depresi sumsum tulang (leucopenia,
trombositopenia). Amenorrhea, azospermia,
sistitis haemorrhagik steril.
Alopecia. Fibrosis &
karsinoma kandung kemih pernah dilaporkan pada penggunaan jangka panjang. Disfungsi hati, hiperpigmentasi, ulkus
oral. Ds: Regimen dosis
individual. Dosis rendah 80-240 mg/m2
permukaan tubuh (2-6 mg/kgBB) dosis tunggal per minggu i.v. atau dosis terbagi
secara oral. Dosis menengah: 400-600
mg/m2 (10-15 mg/kgBB) dosis tunggal per minggu i.v. Dosis tinggi: 800-1600 mg/m2 20-40
mg/kgBB) dosis i.v, interval 10-20 hari.
Km: Injeksi 200 mg vial Rp. 112.000; Injeksi 1000 mg vial Rp.
300.000; Tablet salut gula 50 mg botol 28’s Rp. 100.000.
CYTOXAN BRISTOL-MYERS
SQUIBB K
Siklofosfamid 200 mg/vial injeksi.
In: Keganasan pada sumsum tulang dan jaringan limfoid,
adenokarsinoma ovarium, neuroblastoma, retinoblastoma, kanker paru dan
payudara. ES: Neoplasia sekunder,
leukemia, anoreksia, mual dan muntah, alopesia, interstitial pulmonary fibrosis
dan kardiotoksisitas. Km:
Dos vial 200 mg Rp. 77.000,-
ENDOXAN BAXTER
ONCOLOGY/TRANSFARMA K
Siklofosfamid 200 mg; 500 mg; 1 g/vial
injeksi; 50 mg/tablet. In:
Karsinoma dan sarcoma (leukemia, limfogranulomatosis, limfosarkoma, retotelial
sarkoma, multiple myeloma, mammary carcinoma, ovarian carcinoma). KI: Kerusakan fungsi sumsum tulang
yang parah, trimester pertama kehamilan,sistitis. ES: Dosis tinggi dapat mengakibatkan
leukositopenia, trombositopenia dan anemia.
Ds: Injeksi iv: Sehari 3-6 mg/kgBB. Tablet: Sehari 1-4 tablet (50-200 mg). Km: Vial 200 mg Rp. 120.000; vial
500 mg Rp. 262.000; vial 1 g Rp. 380.000; dos 100 tablet Rp. 390.000.
NEOSAR KALBE
FARMA K
Siklofosfamid
50 mg/tablet; 200 mg; 1000 mg/ml injeksi.
In: Antineoplastik. Km:
Botol 25 tablet 50 mg Rp. 66.000,-; 1 vial 200 mg Rp. 60.500,-; 1 vial 1000 mg
Rp. 225.500,-
SIKLOSPORIN
SANDIMMUN SANDOZ K
Siklosporin 100 mg/ml larutan obat minum; 25 mg; 50 mg; 100 mg/kapsul; 50
mg/ml konsentrat infuse intravena (mengandung polyoxyethylated castor
oil). In: Transplantasi organ
(ginjal, hati dan jantung). Km:
5x10 kapsul lunak 25 mg Rp. 694.240,-; 5x10 kapsul lunak 50 mg Rp. 1.248.485,-;
5x10 kapsul lunak 100 mg Rp. 2.339.900,-; botol 50 ml larutan obat minum 100
mg/ml Rp. 2.841.685,-; dos 10 ampul konsentrat infus intravena 50 mg/ml Rp.
332.380,-; 10 ampul konsentrat infus intravena 250 mg/ml Rp. 1.796.150,-
VINKRISTIN
KREBIN KALBE FARMA K
Vinkristin sulfat 1 mg; 2 mg/ml injeksi.
In: Antineoplastik. Km:
1 vial 1 mg Rp. 117.000,-; 1 vial 2 mg Rp. 187.000,-
VINCRISTINE DELTA WEST PHARMACIA K
Vinkristin 1 mg/ml; 2 mg/2 ml injeksi.
In: Terapi kombinasi pengobatan leukemia limpoblastik akut
(terutama pada anak), kanker limfa, rabdomiosarkoma, neuroblastoma, tumor Wilm,
sarkoma osteogenik, mikosis fungoides, sarkoma Ewing, kanker rahim atau
payudara, malignan melanoma, kanker paru dan tumor organ seks pada anak. Ds: Intravena: Anak, 1,5-2,0 mg/m2;
dewasa 0,4-1,4 mg/m2. Km:
Vial 1 mg/ml Rp. 93.180,-; 2 mg/m2 ml Rp. 165.910,-
VINCRISTINE KALBE FARMA K
Vinkristin sulfat. In:
Sebagai komponen kemoterapi kombinasi leukemia akut. Kombinasi dengan kemoterapi lain untuk
limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, sarcoma
osteogenik, sarkoma Ewing, mycosis fungoides, tumor Wilm, karsinoma payudara,
serviks paru. Terapi idiopathic trombocytopenic
purpura yang refrakter terhadap kortikosteroid dan spelenektomi. KI: Sindrom Charcot
Marie-Tooth. Pasien yang menerima terapi
radiasi meliputi liver. Perh: Tidak
boleh diberikan secara i.m. atau s.c.
Hati-hati terjadinya kompilkasi leucopenia. Hati-hati pemberian pada wanita hamil dan
menyusui. Disarankan tidak menyusui
selama menggunakan obat ini. Sesuaikan
dosis pada penderita penyakit hati atau jaundice. ES: Neurotoksisitas, umumnya berupa
neuropati perifer. Penurunan reflex
tendon dalam, parestesia perifer.
Toksisitas autonom: konstipasi, ileus paralitik, gangguan fungus saluran
kemih, gangguan berkeringat, hipotensi ortostatik, kontraksi mioklonik. Toksisitas sistem syaraf pusat. Alopesia.
Mielosupresi jarang terjadi pada dosis lazim. Mual, muntah, diare, stomatitis. IO: Allopurinol. Obat-obat yang bekerja pada sistem syaraf
perifer. Metotreksat. Ds: Dosis lazim: Anak-anak: 1,5-2
mg/m2. Dewasa: 0,4-1,4 mg/m2. Dapat diberikan dengan infuse i.v. atau
injeksi langsung selama 1 menit. Km:
Injeksi 1 mg vial 1 ml Rp. 101.200. Injeksi 2 mg vial 2 ml Rp. 195.000,-
B. Hematologi
1. Pengertian
Hematologi
Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang marfologi
darah dan jaringan pembentuk darah. Hematinik adalah obat yang digunakkan merah.
2. Contoh – Contoh
Obat Hematologi
Antianemia Hipokromik
a.
Besi Dan
Garam-Garamnya
FeSO4 dan K2CO3 dapat memperbaiki keadaan klorosis, anemia
akibat defisiensi Fe. Bangsa Yunani dan India telah menggunakan bahan-bahan
yang mengandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat.
b.
Distribusi Dalam Tubuh
Tubuh manusia sehat mengandung ±3,5gr Fe yang hampir
seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam
bentuk organic, yaitu sebagai ikatan non ion dan lebih lemah dalam bentuk
anorganik, yaitu sebagai ikatan ion. Kira-kira 70% dari Fe yang terdapat dalam
tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan Fe yang
nonesensial. Fe esensial ini terdapat pada (1) hemoglobin ±66% ; (2)mioglobin
3% ; (3) enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer electron misalnya sitikromoksidase,
subsinil dehidrogenase dan xantin oksidase sebanyak 0,5%, dan (4) pada
transferin 0,1%. Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk
feritin dan hemosiderin sebanyak 25%, dan pada parenkim jaringan kira-kira 5%.
Cadangan Fe pada wanita hanya 200-400mg, sedangkan pada pria kira-kira 1gr.
c.
Farmakokinetik
Absorbsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di
duodenum ; makin ke distal absorbsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah di
absorbsi dalam bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara
transport aktif. Ion fero yang sudah di absorbsi akan di ubah menjadi ion feri
dalam sel mukosa. Selanjutnya ion fero akan masuk ke dalam plasma dengan
perantara transferin, atau di ubah menjadi feritin dan di simpan dalam sel
mukosa usus. Bila cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka Fe yang baru
di serap akan segera di angkut dari sel mukosa ke sumsum tulang untuk
eritropoesis. Absorbsi dapat di tingkatkan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin
C, HCL, sucsinat dan senyawa asam lain. Absorbsi ini meningkat pada keadaan
defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe dan meningkatnya eritropoesis.
Transport. Setelah di absorbsi, Fe dalam darah akan di ikat
oleh transferin (siderifilin), suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian
di angkut ke berbagai jaringan, terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Selain
transferin, sel-sel reticulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan
eritropoesis. Sel ini juga berfungsi sebagai gudang Fe.
Ekskresi. Jumlah Fe yang diekskresi setiap hari sedikit
sekali, biasanya sekitar 0,5-1mg/hari. Ekskresi terutama berlangsung melalui
sel epitel kulit dan saluran cerna yang berkelupas, selain itu juga melalui
keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang di potong. Pada wanita usia
subur siklus haid 28 hari, jumlah Fe yang di ekskresi sehubungan dengan haid di
perkirakan sebanyak 0,5-1mg/hari.
d.
Kebutuhan Besi
Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap pagi dipengruhi oleh
berbagai factor. Faktor umur, jenis kelamin (sehubungan dengan kehamilan dan
laktasi pada wanita) dan jumlah darah dalam badan (dalam hal ini Hb) dapat
mempengaruhi kebutuhan, walaupun keadaan depot Fe memegang peran yang penting
pula. Dalam keadaan normal dapat diperkirakan bahwa seorang laki-laki dewasa
memerlukan asupan sebesar 10 mg, dan wanita memerlukan 12 mg sehari.sedangkan
wanita hamil dan menyusui di perlukan tambahan asupan 5 mg sehari. Bila
kekurangan, akibatnya timbul anemia defisiensi Fe. Hal ini dapat disebabkan
oleh absorpsi yang jelek, perdarahan kronik dan kebutuhan yang meningkat.
e.
Sumber Alam
Makanan yang mengandung Fe dalam kadar tinggi (lebih dari 5
mg/100g) adalah hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang, kacang-kacangan dan
buah-buahan kering tertentu. Makanan yang mengandung besi dalam jumlah sedang
(1-5 mg/100g) termasuk diantaranya daging, ikan, unggas, sayun yang berwarna
hijau dan biji-bijian. Sedangkan susu atau produknya, dan syuran yang kurang
hijau mengandung besi dalam jumlah rendah (kurang dari 1 mg/100 g).
f.
Efek Nonterapi
Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi
terhadap sediaan oral, dan ini sangat tergantung dari jumlah Fe yang dapat
larut dan diabsorpsi pada tiap pemberian. Gejala yang timbul dapat berupa mual
dan nyeri lambung (±7-20%), konstipasi (±10%), diare (±5%) dan kolik. Pemberian
Fe secara IM dapat menyebabkan reaksi local pada tempat suntikan yaitu berupa
rasa sakit, warna coklat pada tempat suntikan, peradangan local pada pembesaran
kelenjar inguinal. Peradangan local sering sering terjadi pada pemakaian IM
dibandingkan IV. Selain itu dapat pula terjadi reaksi sistemik yaitu pada
0,5-0,8% kasus. Reaksi yang dapat terjadi dalam 10 menit setelah suntikan
adalah sakit kepala, nyeri otot dan sendi, hemolisis, takikardi, flushing,
berkeringat, mual, muntah, bronkospasme, hipotensi, pusing, dan kolaps
sirkulasi. Sedangkan reaksi yang lebih sering timbul dalam ½ sampai 24 jam
setelah suntikan misalnya sinkope, demam, menggigil, rash, urtikaria, nyeri
dada, perasaan sakit pada seluruh badan dan ensefalopatia.
Intoksikasi akut ini dapat terjadi setelah menelan Fe
sebanyak 1 gram. Kelainan utama terdapat pada saluran cerna, mulai dari
iritasi, korosi, sampai terjadi nekrosis. Gejala yang timbul seringkali berua
mual, muntah, diare, hematemesis, serta feses berwarna hitam karena perdarahan
pada saluran cerna, syok, dan akhirnya kolaps. Kardiovaskulardengan bahaya
kematian. Gejla keracunan tersebut di atas dapat timbul dalam waktu 30 menit
atau setelah beberapa jam meminum obat. Terapi yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut: Pertama-tama diusahakan agar penderita muntah, kemudian
diberikan susu atau telur yang dapat mengikat Fe sebagai kompleks protein Fe.
Intoksitasi menahun dapat mengakibatkan hemosiderosis.
Obat Lain
a.
Riboflavin
Riboflavin (vit. B2) dalam bentuk flavin mononukleotida
(FMN) dan flavin-adenin dinukleotida (FAD) berfungsi sebagai koenzim dalam
metabolisme flavor-protein dalam pernapasan sel. Anemia defisiensi Riboflavin
banyak terdapat pada malnutrisi protein kalori, di mana ternyata factor
defisiensi Fe dan penyakit infeksi memegang peranan penyakit.
b.
Piridoksin
Vit. B6 ini mungkin berfungsi sebagai koenzim yang
merangsang pertumbuhan heme. Defisiensi piridoksin akan menimbulkan anemia
mikrositik hipokromik. Pada keadaan ini absorpsi Fe meningkat, Fe-binding
protein menjadi jenuh dan terjadi hiperteremia, sedangkan daya regenerasi darah
menurun. Akhirnya akan didapatkan gejala hemosiderosis.
c.
Cobalt
Defisiensi kobal belum pernah dilaporkan pada manusia.
Kobalt dapat meningkatkan jumlah hematokrit, hemoglobin dan eritrosit pada
beberapa penderita dengan anemia refrakter, seperti yang terdapat pada
penderita talasemia, infeksi kronik atau penyakit ginjal tetapi mekanisme yang
pasti tidak diketahui.
d.
Tembaga
Hingga sekarang belum ada kenyataan yang menunjukkan
pentingnya penambahan Cu baik dalam makanan ataupun sebagai obat, dan
defisiensi Cu pada manusia sangat jarang terjadi.
Antianemia Megaloblastik
Pembentukan eritrosit oleh tulang memerlukan sianokobalamin
dan asam folat. Kekurangan salah satu atau ke dua faktor ini dapat menyebabkan
anemia disertai dengan dilepasnya eritrosit muda ke sirkulasi (eritrosit dengan
inti dan kekurangan B12 atau asam folat yang disebabkan oleh kurangnya asupan,
terganggunya absorbsi, terganggunya utilisasi, meningkatnya kebutuhan,
destruksi yang berkelebihan atau ekskresi yang meningkat). Defisiensi
sianokobalamin dapat menimbulkan anemia megaloblastik yang disertai gangguan
neurologik.
a.
Sianokobalamin (Vit
B12)
Sianokobalimin (vitamin B12) merupakan satu-satunya
kelompok senyawa alam yang mengandung unsur CO dengan struktur yang mirip
derivat porfirin. Sianokobalamin yang aktif dalam tubuh manusia adalah
deoksiadenosil kobalamin dan metil kobalamin. Dengan demikian sianokobalamin
dan hidroksokobalamin yang terdapat dalam obat serta kobalamin air dalam
makanan harus diubah menjadi bentuk aktif ini.
1)
Fungsi Metabolik
Vitamin B12 bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel. Pada rangkaian reaksi
ini vitamin B12 terdapat sebagai koenzim B12 yang aktif yaitu 5-
deoksiadenosilbalamin Silkobalamin dan metal kobalamin. Yang pertama merupakan
unsure penting dalam reaksi enzimatik di mitokondria, sedangkan metilkobalamin
diperlukan sebagai donor metil pada pembentukan metiolin dan derifatnya dari
homosistein. Kelainan neurologi pada defisiensi vitamin B12 diduga karena
kerusakan pada sarung mielin.
2)
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi kobalamin ditandai dengan hematopoesis, gangguan
neurologi, kerusakn sel epitel, terutama epitel saluran cerna, dan debilitas
umum. Defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa lebih sering disebabkan oleh
gangguan reabsorbsinya, misalnya pada defisiensi vitamin B12 yang klasik yang
disebut anemia pernisiosa Addison. Pada penyakit tersebut terjadi kegagalan
sekresi factor intrinsic castle oleh sel parietal lambung yang berfungsi dalam
absorbs vitamin B12 di ileum.
3)
Kebutuhanvitamin B12
Kebutuhan vitamin B12 bagi orang sehat kira-kira 1 µg
sehari yaitu sesuai dengan jumlah yang diekskresi oleh tubuh. Setiap hari tubuh
akan mengeluarkan 3-7 µg sehari kedalam saluran empedu, sebagian besar akan di
reabsorbsi melalui usus dan hanya 1 µg yang tidak direabsorbsi. Pada anemia
perniasiosa dimana factor intrinsic castle berkurang atau tidak ada, kebutuhan
ini akaan meningkat sebab apa yang dikeluarkan melalui saluran empedu tidak dapat
direabsorbsi.
4)
Sumber Vitamin B12
Alami
Sumber asli satu-satunya untuk vitamin B12 adalah
mikroorganisme. Bakteri dalam kolon manusia juga membentukvitamin B12, tetapi
tidak berguna untuk memenuhi kebutuhan individu yang bersangkutan sebab absorbs
vitamin B12 terutama berlangsung dalam ileum. Sumber untuk memenuhi kebutuhan
manusia adalah makanan hewani. Vitamin B12 dalam makanan manusia juga terikat
pada protein, tetapi akan dibebaskan pada proses proteolisis. Jenis makanan
yang kaya akan vitamin B12 adalah jeroan (hati, ginjal, jantung) dan kerang.
5)
Farmakokinetik
Absorbsi. Sianokobalamin diabsorbsi baik dan cepat setelah
pemberian IM dan SK. Hidroksokobalamin
dalam koenzim B12 lebih lambat di absorbs karena ikatannya yang lebih kuat
dengan protein.
Absorbsi dengan perantara FIC. Sangat penting dan sebagian
besar anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan mekanisme ini. FIC hanya
mampu mengikat sejumlah 1,5-3 mcg vitamin B12.kompleks ini masuk ke ileum dan
disini melekat pada reseptor khusus disel mukosa ileum untuk diabsorbsi.
Intrinsic konsentrat (eksegen) yang diberikan bersama vitamin B12 hanya berguna
untuk penderita yang kurang mensekresi FIC dan penderita menolak untuk disuntik
.
Absorbsi secara langsung, tidak begitu penting karena baru
terjadi kadar B12 yang tinggi, dan berlangsung secara difusi.
Transport, setelah diabsorbsi hampir semua vitamin B12
dalam darah terikat dengan protein plasma. Sebagian besar terikat pada
betaglobulin (transkobalamin II), sisanya terikat pada alfaglikoprotein (transkobalamin
I) dan interalfa glikoprotein (transkobalamin III).
C. Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan
elektrolit
1.
Umur :
Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia,
karena usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat
badan. Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan
dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi gangguan keseimbangan
cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau jantung.
2.
Iklim
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan
kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan
elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di
lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L per hari.
3.
Diet
Diet seseorag berpengaruh terhadap intake cairan dan
elktrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein
dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal
keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini
akan menyebabkan edema.
4.
Stress
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah,
dan pemecahan glykogen otot. Mrekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan
retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.
5.
Kondisi Sakit
Kondisi sakit sangat b3erpengaruh terhadap kondisi
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh Misalnya :
a.
Trauma seperti luka
bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.
b.
Penyakit ginjal dan
kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan
dan elektrolit tubuh
c.
Pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan
intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara
mandiri.
6.
Tindakan Medis
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
7.
Pengobatan :
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat
berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
8.
Pembedahan
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan
kehilangan darah selama pembedahan.
D. Obat Yang
Mempengaruhi Cairan dan Elektrolit
1.
Cairan
hipotonik
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi
ion na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah
keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah
ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan
pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah
(dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula
darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah nacl 45% dan dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif
dan hipertensi. Contohnya adalah cairan ringer-laktat (rl), dan normal
saline/larutan garam fisiologis (nacl 0,9%).
3. Cairan Hipertonik
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
dextrose 5%, nacl 45% hipertonik, dextrose 5%+ringer-lactate, dextrose 5%+nacl
0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
1. Kristaloid:
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya
ringer-laktat dan garam fisiologis.
2. Koloid
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga
tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah,
maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.
Contohnya adalah albumin dan steroid.
Jenis-Jenis Cairan Infus
1. Asering
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi:
gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (dhf), luka bakar, syok hemoragik,
dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
·
Na
130 meq
·
K 4 meq
·
Cl 109 meq
·
Ca 3 meq
·
Asetat (garam) 28 meq
Keunggulan:
a.
Asetat dimetabolisme
di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati
b.
Pada pemberian sebelum
operasi sesar, ra mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding rl pada neonates
c.
Pada kasus bedah,
asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran
d.
Mempunyai efek
vasodilator
e.
Pada kasus stroke
akut, penambahan mgso4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml ra, dapat meningkatkan
tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral
2. Ka-en 1b
Indikasi:
a.
Sebagai Larutan Awal
Bila Status Elektrolit Pasien Belum Diketahui, Misal Pada Kasus Emergensi
(Dehidrasi Karena Asupan Oral Tidak Memadai, Demam)
b.
< 24 jam pasca
operasi
c.
Dosis lazim 500-1000
ml untuk sekali pemberian secara iv. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam
(dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
d.
Bayi prematur atau
bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam
3. Ka-en 3a & ka-en 3b
Indikasi:
a.
Larutan Rumatan
Nasional Untuk Memenuhi Kebutuhan Harian Air Dan Elektrolit Dengan Kandungan
Kalium Cukup Untuk Mengganti Ekskresi Harian, Pada Keadaan Asupan Oral Terbatas
b.
Rumatan untuk
kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
c.
Mensuplai kalium
sebesar 10 meq/l untuk ka-en 3a
d.
Mensuplai kalium
sebesar 20 meq/l untuk ka-en 3b
4. Ka-en mg3
Indikasi :
a.
Larutan Rumatan
Nasional Untuk Memenuhi Kebutuhan Harian Air Dan Elektrolit Dengan Kandungan
Kalium Cukup Untuk Mengganti Ekskresi Harian, Pada Keadaan Asupan Oral Terbatas
b.
Rumatan untuk kasus
pasca operasi (> 24-48 jam)
c.
Mensuplai kalium 20
meq/l
d.
Rumatan untuk kasus
dimana suplemen npc dibutuhkan 400 kcal/l
5. Ka-en 4a
Indikasi :
a.
Merupakan Larutan
Infus Rumatan Untuk Bayi Dan Anak
b.
Tanpa kandungan
kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi
kalium serum normal
c.
Tepat digunakan untuk
dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml):
a. Na 30 meq/l
b. K 0 meq/l
c.
Cl 20 meq/l
d. Laktat 10 meq/l
e.
Glukosa 40 gr/l
6. Ka-en 4b
Indikasi:
a.
Merupakan Larutan
Infus Rumatan Untuk Bayi Dan Anak Usia Kurang 3 Tahun
b.
Mensuplai 8 meq/l
kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia
c.
Tepat digunakan untuk
dehidrasi hipertonik
Komposisi:
a.
Na 30 meq/l
b.
K 8 meq/l
c.
Cl 28 meq/l
d.
Laktat 10 meq/l
e.
Glukosa 37,5 gr/l
7. Otsu-ns
Indikasi:
a.
Untuk Resusitasi
b.
Kehilangan na > cl,
misal diare
c.
Sindrom yang berkaitan
dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal,
luka bakar)
8. Otsu-rl
Indikasi:
a.
Resusitasi
b.
Suplai ion bikarbonat
c.
Asidosis metabolic
9. Martos-10
Indikasi:
a.
Suplai Air Dan
Karbohidrat Secara Parenteral Pada Penderita Diabetik
b.
Keadaan kritis lain
yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan
defisiensi protein
c.
Dosis: 0,3 gr/kg
bb/jam
d.
Mengandung 400 kcal/l
10. Amiparen
Indikasi:
a.
Stres Metabolik Berat
b.
Luka bakar
c.
Infeksi berat
d.
Kwasiokor
e.
Pasca operasi
f.
Total parenteral
nutrition
g.
Dosis dewasa 100 ml
selama 60 menit
11. Aminovel-600
Indikasi:
a.
Nutrisi Tambahan Pada
Gangguan Saluran Gi
b.
Penderita gi yang
dipuasakan
c.
Kebutuhan metabolik
yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi)
d.
Stres metabolik sedang
e.
Dosis dewasa 500 ml
selama 4-6 jam (20-30 tpm)
12. Pan-amin g
Indikasi:
a.
Suplai Asam Amino Pada
Hiponatremia Dan Stres Metabolik Ringan
b.
Nitrisi dini pasca
operasi
c.
Tifoid
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya berarti
resistensi relative terhadap suatu mikroorganisme. Resistensi terbentuk berdasarkan respons
imunologik. Selain membentuk resistensi
terhadap suatu infeksi, respons imun juga dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai penyakit. Oleh karena itu, pada
masa sekarang arti respons imun sudah lebih luas yang pada dasarnya mencakup
pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi suatu makhluk hidup, dengan
segala rangkaian kejadian yang melibatkan sistem retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang dimaksud mencakup
netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat asing tersebut dengan atau
tanpa akibat berupa gangguan pada makhluk hidup yang bersangkutan.
Imunosupresan
adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegah
penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis
rhesus dan neonatus. sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan
digunakan sebagai antikanker. immunosupresan merupakan zat-zat yang justru
menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari
sistem tersebut. titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan
transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun
diperlemah. khususnya il-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial
limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. lagi pula
t-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies
terhadap limfosit.
B.
Saran
Semoga
dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
pembaca khususnya mahasiswa keperawatan terutama pengaplikasiannya dalam dunia
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Mohammad. 1993.
Penggolongan obat berdasarkan khasiat dan penggunaan. Yogyakarta : ugm press.
Depkes ri. 2000. Informatorium
obat nasional indonesia. Jakarta : cv. Sagung seto.
Ganiswara, E. Sulistia, dkk. 1995. Farmakologi
Dan Terapi. Universitas Indonesia: Fakultas Kedokteran.
Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia. 2009-2010. ISO (Informasi Spesialite Obat) Indonesia Volume
44. Berlico Mulia Farma: Yogyakarta.
Ketut, Ritiasa. 2007. Info Obat Indonesia. PT. Eranti Agratama: Jakarta.
Robert. 1981. Pedoman
pengobatan. Yayasan essentia medica.
Woodley, Michele. 1995.
Pedoman pengobatan. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar